Monitoring Pengendalian Hama Ulat Grayak pada Jagung: Penerapan PHT Ulat Grayak Terstandar di Bintan
Bintan – Kepala BSIP Kepulauan Riau, Ahmad Tohir Harahap, S.P., M.Si. bersama dengan Tim Perbenihan Jagung Terstandar melakukan monitoring pengendalian hama ulat grayak pada jagung di lahan perbenihan yang dikembangkan oleh Kelompok Tani Milenial Kreatif, Desa Lancang Kuning, Kecamatan Bintan Utara, Kabupaten Bintan (21/10).
Saat ini, ulat grayak (Spodoptera frugiperda J.E. Smith) merupakan salah satu hama yang menyerang pertanaman jagung di lokasi perbenihan tersebut, serta berpotensi mengganggu produktivitasnya. Hama tersebut memiliki gejala serangan berupa bekas gerekan dari ulat pada permukaan atas daun atau disekitar pucuk tanaman jagung, serta ditemukan serbuk kasar seperti serbuk gergaji. Bahayanya, ketika populasi ulat grayak sangat tinggi, maka bagian tongkol jagung juga akan diserang oleh hama ini.
Menindaklanjuti serangan hama tersebut, Kepala Balai, Ahmad Tohir Harahap, S.P., M.Si. didampingi Firsta Anugerah Sariri, S.P., M.Si., selaku penanggung jawab kegiatan dan Tim (Melli Fitriani, S.P., dan Agusrizal, S.ST.) melakukan pendampingan penerapan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) kepada petani sesuai standar pada umur jagung 61 HST. Penerapan RSNI3 9282:2024 tentang “Pengelolaan hama terpadu ulat grayak (Spodoptera frugiperda J.E. Smith) pada tanaman jagung” menjadi pilihan Tim Perbenihan Jagung Terstandar BSIP Kepri sebagai acuan standar pengendalian.
“Pada fase pertumbuhan jagung VT s.d. R2 atau 60 HST s.d. 75 HST dengan ciri-ciri daun berlubang, berbentuk jendela kecil, menggulung dan kerusakan daun segar pada fase awal berbunga, dan terbentuknya tongkol jagung dengan serangan lebih dari 10% atau telah mencapai ambang batas, maka dapat dilakukan pengendalian secara kimiawi,” terang Firsta. “Salah satu bahan aktif yang digunakan untuk pengendalian secara kimiawi saat ini insektisida bersifat sistemik dan kontak lambung antara lain Emamektin benzoate dengan dosis ≤ 2 ml/l serta Klorantraniliprol dengan dosis ≤ 3,75 ml/l pada metode aplikasi penyemprotan volume tinggi,” sambungnya.
Ahmad Tohir dalam arahannya kepada tim dan petani, menyampaikan bahwa selain sumber makanan, perilaku dan perkembangan ulat grayak juga dipengaruhi oleh interaksi dengan lingkungannya, khususnya faktor cuaca meliputi suhu, curah hujan, dan kelembaban. “Waktu yang tepat dalam mengendalikan ulat grayak hendaknya juga diperhatikan. Jika cuaca cerah seperti ini, bisa segera dilakukan penyemprotan insektisida agar lebih efektif dan efisien serta tepat sasaran. Ada baiknya jika berkoordinasi dengan pihak BMKG terkait prakiraan cuaca, data curah hujan, serta unsur cuaca dan iklim lainnya sebagai data pendukung dalam mempelajari perilaku dan perkembangan ulat grayak, sehingga strategi pengendalian yang kita lakukan bisa lebih optimal,” ujarnya.
Rancangan Standar Nasional Indonesia 3 (RSNI3) 9282:2024 tentang “Pengelolaan hama terpadu ulat grayak (Spodoptera frugiperda J.E. Smith) pada tanaman jagung merupakan strategi pengendalian yang sesuai dengan prinsip pengelolaan hama terpadu. Harapannya hal tersebut dapat mendukung sistem budidaya pertanian berkelanjutan serta dinilai sebagai strategi yang tepat untuk diterapkan pada pertanaman jagung di Kepulauan Riau.